BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI
DAN JENIS PENGETAHUAN
Secara
etimologi pengetahuan berasal dari kata dalam bahasa inggris yaitu knowledge. Dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan
bahwa definisi pengetahuan adalah kepercayaan yang benar.
Beberapa
Definisi pengetahuan menurut para tokoh:
Menurut
Drs. Sidi Gazalba, pengetahuan adalah apa yang diketahui atau hasil pekerjaan
tahu. Pekerjaan tahu tersebut adalah hasil dari kenal, sadar, insaf, mengerti
dan pandai. Pengetahuan adalah semua milik atau isi pikiran. Dalam kamus filsafat
dijelaskan bahwa pengetahuan adalah proses kehidupan yang diketahui manusia
secara langsung dari kesadarannya sendiri. [1]
Sidi Gazalba
mengatakan “apa yg diketahui atau hasil pekerjaan tahu (sadar, kenal, insaf,
mengerti dan pandai), atau semua milik (isi) pikiran. Jadi,
pengetahuan mrpk hasil proses dari usaha manusia untuk tahu”.
Dalam Kamus
Filsafat mengatakan bahwa pengetahuan merupakan “proses kehidupan yg diketahui
manusia scr langsung dari kesadarannya sendiri. Dlm peristiwa ini yg mengetahui
(subjek) memiliki yg diketahui (objek) di dlm dirinya sedemikian aktif,
sehingga yg mengetahui itu menyusun yg diketahui pada dirinya sendiri dlm kesatuan
aktif.[2]
1. Jenis
Pengetahuan
a. Pengetahuan
Biasa, yakni pengetahuan yang dalam filsafat dikatakan dengan istilah common
sense, dan dalam filsafat dikatakan dengan good sense, karena seseorang
memiliki sesuatu dimana ia menerima secara baik. Dengan common sense semua
orang sampai pada kenyataan secara umum tentang sesuatu, dimana mereka
berpendapat sama semuanya. Ia diperoleh dari pengalaman sehari-hari.
b. Pengetahuan
Ilmu, yaitu ilmu sebagai terjemahan dari science. Science yaitu untuk
menunjukkan ilmu pengetahuan alam, yang sifatnya kuantitatis dan objektif. Ilmu
pd prinsipnya mrpk usaha utk mengorganisasikan dan mensistematisasikan common
sense. Namun dilanjutkan dengan suatu pemikiran secara cermat dan teliti dengan
menggunakan berbagai metode. Pengetahuan yang diperoleh melalui
ilmu diperoleh melalui observasi, eksperimen, klasifikasi. Analisis ilmu itu
objektif dan menyampingkan unsur pribadi, pemikiran logika diutamakan, netral
(tdk subjektif), karena dimulai dengan fakta
c.
Pengetahuan Filsafat, yakni pengetahuan
yang diperoleh dari pemikiran yang bersifat kontemplatif dan spekulatif. C.D. Broad berkata : “maksud dari filsafat spekulatif adalah untuk ambil alih hasil-hasil dari berbagai ilmu, dan
menambahkannya dengan hasil pengalaman keagamaan dan budi pekerti. Dgn
cara ini, diharapkan bahwa kita akan dapat sampai kepada suatu kesimpulan tentang watak alam ini, serta
kedudukan dan prospek kita di dalamnya.
Pengetahuan
filsafat lebih menekankan pada universalitas dan kedalaman kajian ttg sesuatu.
Kalau ilmu hanya pd suatu bidang pengetahuan tertentu yg sempit dan rigid, filsafat
membahas hal yg lebih luas dan mendalam. Filsafat biasanya memberikan
pengetahuan yg reflektif dan kritis, sehingga ilmu yg tadinya kaku dan tertutup
menjadi ‘longgar’ kembali.
d.
Pengetahuan Agama, yakni pengetahuan
yang hanya diperoleh dari Tuhan lewat para utusan-Nya. Pengetahuan agama
bersifat mutlak dan wajib diyakini oleh para pemeluk agama. Pengetahuan ini
mengandung beberapa hal pokok, baik ttg hubungan dgn Tuhan (vertikal), maupun
dgn sesama manusia (horizontal). [3]
2. Perbedaan
pengetahuan dengan Ilmu
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia pengetahuan disamakan artinya dengan ilmu, ilmu
adalah pengetahuan. Definisi pengetahuan
adalah hasil tahu manusia terhadap sesuatu, atau segala perbuatan manusia untuk
memahami suatu objek tertentu. Sedangkan definisi ilmu yaitu pengetahuan yang
bersifat positif dan sistematis. Pengetahuan dengan ilmu bersinonim arti,
sedangkan dalam arti material, keduanya mempunyai perbedaan.
B. HAKIKAT
DAN SUMBER PENGETAHUAN
Binatang
juga mempunyai pengetahuan, namun pengetahuan ini terbatas untuk kelangsungan
hidupnya. Manusia mengembangkan pengetahuannya untuk mengatasi
kebutuhan-kebutuhan kelangsungan hidupnya.
1. Hakikat
pengetahuan
Pengetahuan pada
dasarnya adalah keadaan mental. Ada 2 teori untuk mengetahui hakikat
pengetahuan, yaitu:
a. Realisme
Kata
ini menunjuk kepada benda-benda atau kejadian-kejadian yang sesungguhnya,
artinya yang bukan sekedar khayalan atau apa yang ada dalam pikiran kita
(kepatuhan kepada fakta). Dalam arti filsafat yang sempit, realisme berarti
anggapan bahwa objek indra kita adalah real, benda-benda ada, adanya itu
terlepas dari kenyataan bahwa benda itu kita ketahui atau ada hubungannya
dengan persepsi kita. Teori ini mempunyai pandangan realistis terhadap alam.
Dalam hal ini, pengetahuan adalah benar
dan tepat bila sesuai dengan kenyataan. Pengetahuan menurut realisme
adalah gambaran atau kopi yang sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata.
Menurut Prof. Dr. Rasjidi, penganut agama perlu sekali mempelajari realism
dengan alasan:
1.) Dengan
menjelaskan kesulitan-kesulitan yang terdapat dalam pikiran.
2.) Dengan
jalan memberi pertimbangan-pertimbangan yang positif, menurut Rasjidi, umunya
orang beranggapan bahwa tiap-tiap benda mempunyai satu sebab.
b. Idealisme
Ajaran
idealisme menegaskan bahwa untuk mendapatkan pengetahuan yang benar-benar
sesuai dengan kenyataan adalah mustahil. Pengetahuan adalah proses mental atau
proses psikologis yang bersifat subjektif. [4]
2. Sumber
Pengetahuan
Ada beberapa pendapat tentang sumber pengetahuan
antara lain:
a. Empirisme
Kata
ini berasal dari bahasa yunani yang artinya pengalaman. Menurut pendapat ini
manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya. John Locke (1632-1704),
Bapak empiris Britania mengemukakan teori tabula rasa, yang maksudnya ialah
bahwa manusia itu pada mulanya kosong dari pengetahuan, lantas pengalamannya
mengisi jiwa yang kosong itu, lantas ia memiliki pengetahuan. Jadi, dalam empirisme,
sumber utama untuk memperoleh pengetahuan adalah data empiris yang diperoleh
dari panca indera.
Aliran
ini memiliki banyak kelemahan, antara lain:
1) Indera
terbatas, benda yang jauh kelihatan kecil karena keterbatasan indera yang
menggambarkan seperti itu.
2) Indera
menipu, pada orang yang sakit malaria gula rasanya pahit.
3) Objek
yang menipu, objek itu sebenarnya tidak sebagaimana ia ditangkap oleh indera,
ia membohongi indera.
4) Berasal
dari indera dan Objek Sekaligus.
b. Rasionalisme
Aliran
ini mengatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Descartes,
seorang pelopor rasionalisme berusaha menemukan suatu kebenaran yang tidak
dapat diragukan lagi. Kebenaran itu, menurutnya adalah dia tidak ragu bahwa ia
ragu. Ia yakin kebenaran-kebenaran semacam itu ada dan kebenaran tersebut
dikenal dengan cahaya yang terang dari akal budi sebagai hal-hal yang tidak
dapat diragukan.[5]
c. Intuisi
Menurut
Henry Bergson intuisi adalah hasil dari evolusi pemahaman yang tertinggi.
Kemampuan ini mirip insting, tetapi berbeda dengan kesadaran dan kebebasannya.
Pengembangan kemampuan ini memerlukan
suatu usaha. Perbedaan antara intuisi dalam filsafat barat dengan
makrifat dalam Islam adalah kalau intuisi diperoleh lewat perenungan dan
pemikiran yang konsisten, sedangkan dalam Islam makrifat diperoleh lewat
perenungan dan penyinaran dari Tuhan.
d. Wahyu
Wahyu
adalah pengetahuan yang disampaikan oleh Allah kepada manusia lewat perantara para nabi. Para nabi
memperoleh pengetahuan dari Tuhan tanpa upaya, tanpa bersusah payah, tanpa
memerlukan waktu untuk memperolehnya. Pengetahuan mereka terjadi atas kehendak
Tuhan semesta. Tuhan mensucikan jiwa mereka dan diterangkan_nya pula jiwa
mereka untuk memperoleh kebenaran dengan jalan wahyu.[6]
C. UKURAN
KEBENARAN
Kebenaran adalah
satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai yang menjadi
fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human
dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran.
Berbicara tentang kebenaran ilmiah tidak bisa dilepaskan dari makna dan fungsi
ilmu itu sendiri sejauh mana dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia. Di
samping itu proses untuk mendapatkannya haruslah melalui tahap-tahap metode
ilmiah.
Poedjawiyatna yang mengatakan bahwa persesuaian antara
pengatahuan dan obyeknya itulah yang disebut kebenaran. Artinya pengetahuan itu
harus yang dengan aspek obyek yang diketahui. Jadi
pengetahuan benar adalah pengetahuan obyektif.
Meskipun demikian, apa yang dewasa ini kita pegang sebagai
kebenaran mungkin suatu saat akan hanya pendekatan kasar saja dari suatu
kebenaran yang lebih jati lagi dan demikian seterusnya. Hal ini tidak bisa
dilepaskan dengan keberadaan manusia yang transenden,dengan kata lain,
keresahan ilmu bertalian dengan hasrat yang terdapat dalam diri manusia. Dari
sini terdapat petunjuk mengenai kebenaran yang trasenden, artinya tidak henti
dari kebenaran itu terdapat diluar jangkauan manusia. [7]
Ada tiga jenis
kebenaran :
1. Kebenaran
epistemologis yaitu “kebenaran yang berhubungan dengan pengetahuan manusia”.
2. Kebenaran
ontologis adalah “kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat pada hakikat
segala sesuatu yg ada atau diadakan”.
Ada 4 ujian tentang kebenaran, yaitu:
1.
Teori Korespondensi
Menurut
teori ini, kebenaran atau keadaan benar itu apabila ada kesesuaian antara arti
yang dimaksud oleh suatu pernyataan atau pendapat tersebut. Maka pengetahuan
adalah benar bila apa yang terdapat didalam budi pikiran subjek itu benar
sesuai dengan apa yang ada didalam objek.[9]
Menurut
teori ini, ada atau tidaknya keyakinan
tidak mempunyai hubungan langsung terhadap kebenaran atau
kekeliruan, oleh karena kebenaran atau kekeliruan itu tergantung kepada kondisi
yang sudah ditetapkan atau diingkari. Jika sesuatu pertimbangan sesuai dengan
fakta, maka pertimbangan itu benar. Jika tidak, maka pertimbangan itu salah.
Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan tentang fakta
dan fakta itu sendiri, atau antara pertimbangan (judgement) dan situasi yang
pertimbangan itu berusaha untuk melukiskan, karena kebenaran mempunyai hubungan
erat dengan pernyataan atau pemberitaan yang kita lakukan tentang sesuatu. Jadi,
secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori korespondensi suatu
pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu
berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan
tersebut.
Misalnya jika seorang
mahasiswa mengatakan “kota Yogyakarta terletak di pulau Jawa” maka pernyataan
itu adalah benar sebab pernyataan itu dengan obyek yang bersifat faktual, yakni
kota Yogyakarta memang benar-benar berada di pulau Jawa. Sekiranya orang lain
yang mengatakan bahwa “kota Yogyakarta berada di pulau Sumatra” maka
pernnyataan itu adalah tidak benar sebab tidak terdapat obyek yang sesuai
dengan pernyataan terebut. Dalam hal ini maka secara faktual “kota Yogyakarta
bukan berada di pulau Sumatra melainkan di pulau Jawa”.[10]
2.
Teori Koherensi Tentang Kebenaran
Menurut
teori ini, kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan dengan sesuatu
yang lain, yaitu fakta atau realitas, tetapi atas hubungan antara
putusan-putusan itu sendiri.[11]
Berdasarkan
teori ini suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren
atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Artinya pertimbangan adalah benar jika pertimbangan itu
bersifat konsisten dengan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya,
yaitu yang koheren menurut logika. Misalnya, bila kita menganggap bahwa “semua
manusia pasti akan mati” adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan
bahwa “si Hasan seorang manusia dan si Hasan pasti akan mati” adalah benar
pula, sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama.[12]
3. Teori
Pragmatisme Tentang Kebenaran
Pragmatism
berasal dari bahasa yunani pragma
artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, tindakan, sebutan bagi
filsafat yang dikembangkan oleh William James di Amerika Serikat. Menurut teori
ini, suatu kebenaran dan suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah
pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan manusia.[13]
Teori pragmatik dicetuskan oleh Charles S. Peirce
(1839-1914) dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yangberjudul “How
to Make Ideals Clear”. Teori ini kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli
filsafat yang kebanyakan adalah berkebangsaan Amerika yang menyebabkan filsafat
ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli-ahli filasafat ini di
antaranya adalah William James (1842-1910), John Dewey (1859-1952), George
Hobart Mead (1863-1931) dan C.I. Lewis (Jujun, 1990:57).[14]
4. Agama
Sebagai Teori Kebenaran
Manusia
adalah makhluk pencari kebenaran. Salah satu cara untuk menemukan suatu
kebenaran. Salah satu cara untuk menemukan kebenaran adalah melalui agama.
Agama dengan karakteristiknya sendiri memberikan jawaban atas segala persoalan
asasi yang dipertanyakan manusia. Baik tentang alam, manusia, maupun tentang Tuhan.kalau
ketiga taori kebenaran sebelumnya lebih mengedepankan akal, budi, rasio dan
reason manusia, dalam agalam yang dikedepankan adalah wahyu yang bersumber dari
Tuhan.[15]
D. KLASIFIKASI
DAN HIRARKI ILMU
Klasifikasi ilmu
menurut Al-Ghazali:
I. Ilmu
Syar’iyyah
1. Ilmu
tentang prinsip-prinsip dasar (al-ushul)
1) Ilmu
tentang keesaan Tuhan (al-tauhid)
2) Ilmu
tentang kenabian
3) Ilmu
tentang akhirat atau eskatologis
4) Ilmu
tentang sumber pengetahuan religious. Yaitu Al-quran dan Al-Sunnah (primer),
ijma’ dan tradisi para sahabat (sekunder), ilmu ini terbagi menjadi dua
kategori:
i.
Ilmu-ilmu pengantar (ilmu alat)
ii. Ilmu-ilmu
pelengkap, terdiri dari: ilmu Quran, ilmu riwayat al-hadis, ilmu ushul fiqh dan
biografi para tokoh.
2. Ilmu
tentang Cabang-cabang (furu’)
1) Ilmu
tentang kewajiban manusia kepada Tuhan (ibadah)
2) Ilmu
tentang kewajiban manusia kepada masyarakat:
i.
Ilmu tentang transaksi, termasuk qishas
ii. Ilmu
tentang kewajiban kontraktual (berhubungan dengan hukum keluarga)
3) Ilmu
tentang kewajiban manusia kepada jiwanya sendiri (ilmu akhlak)
II. Ilmu
Aqliyyah
1. Matematika,
aritmatika, geometri, astronomi dan astrologi, music
2. Logika
3. Fisika/ilmu
alam: kedokteran, meteorology, mineralogy, kimia
4. Ilmu
tentang wujud di luar alam, atau metafisika: ontology
1) Pengetahuan
tentang esensi, sifat dan aktivitas ilahi
2) Pengetahuan
tentang substansi-substansi sederhana
3) Pengetahuan
tentang dunia halus
4) Ilmu
tentang kenabian dan fenomena kewalian ilmu tentang mimpi
5) Teurgi.
Ilmu ini menggunakan kekuatan-kekuatan bumi untuk menghasilkan efek tampak
seperti supernatural.[16]
sementara itu Stuart Chase membagi ilmu
pengetahuan sebagai berikut :
- ilmu-ilmu pengetahuan alam (natural sciences)
- biologi
- antropologi fisik
- ilmu kedokteran
- ilmu farmasi
- ilmu pertanian
- ilmu pasti
- ilmu alam
- geologi
- dan lain sebagainya
- Ilmu-ilmu kemasyarakatan
- Ilmu hukum
- Ilmu ekonomi
- Ilmu jiwa sosial
- Ilmu bumi sosial
- Sosiologi
- Antropologi budaya an sosial
- Ilmu sejarah
- Ilmu politik
- Ilmu pendidikan
- Publisistik dan jurnalistik
- Dan lain sebagainya
- Humaniora
- Ilmu agama
- Ilmu filsafat
- Ilmu bahasa
- Ilmu seni
- Ilmu jiwa
- Dan lain sebagainya[17]
[1]
Bakhtiar, Amsal. Dr.M.A.2005.Filsafat
Ilmu.jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
[2]
(Lorens Bagus, Kamus Filsafat)
[3]
Bakhtiar, Amsal. Dr.M.A.2005.Filsafat
Ilmu.jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
[4]
Ibid. hal 92-97
[5]
Ibid. hal 98-109
[6]
Ibid. hal 109-110
[7]http://
www. filsafat manusia dan filog/makalah-filsafat-ilmu-tentang-teori.html
[8]
Bakhtiar, Amsal. Dr.M.A.2005.Filsafat
Ilmu.jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
[9]
Ibid. hal 112
[10]
http://www. filsafat manusia dan filog/makalah-filsafat-ilmu-tentang-teori.html
[11]
Bakhtiar, Amsal. Dr.M.A.2005.Filsafat
Ilmu.jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
[12]
http://www. filsafat manusia dan filog/makalah-filsafat-ilmu-tentang-teori.html
[13]
Bakhtiar, Amsal. Dr.M.A.2005.Filsafat
Ilmu.jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
[14]
Ibid. hal 119
[15]
Ibid. hal 121
[16]
Ibid. hal 124-125
[17]http://
www. filsafat manusia dan filog/makalah-filsafat-ilmu-dan-kebenaran.html
Posting Komentar