Sekali dalam hidup, saya dilumpuhkan oleh rasa takut.
Waktu itu saya harus mengikuti ujian kalkulus, ketika baru menginjak tahun
pertama di Perguruan Tinggi. Entah bagaimana, pokoknya saya tidak belajar. Saya
masih ingat ketika saya memasuki ruang ujian di pagi hari dengan perasaan kacau
balau menggalayut di hati. Padahal saya kerap mengikuti kuliah diruang itu.
Tetapi, pagi itu pemandangan di luar jendela seakan-akan kosong dan ujian itu
pun serasa tidak ada
. Yang tampak jelas hanyalah petak-petak ubin dihadapan saya sewaktu saya berjalan menuju bangku di dekat pintu. Sewaktu saya membuka buku ujian yang bersampul biru itu, telinga saya dipenuhi suara degup jantung, kecemasan serasa menghantam perut. Saya melihat soal-soal ujian itu sekilas. Putus asa. Selama satu jam saya hanya mampu memandangi soal-soal itu, sementara pikiran saya berputar-putar merenungkan akibat yang akan saya tanggung. Gagasan yang sama terulang terus-menerus, membentuk lingkaran pita ketakutan dan kekhawatiran. Saya duduk tak bergerak persis seekor hewan yang mati kaku terkena panah beracun. Yang paling mengejutkan saya akan momen menakutkan itu adalah betapa otak saya jadi “macet”. Saya menyia-nyiakan waktu ujian dengan tidak berusaha membuat jawaban sebisa-bisanya. Saya tidak melamun. Saya hanya mampu duduk terpaku karena ketakutan, menunggu siksaan itu berakhir. (di kutip dari Emotional Intelligence oleh Daniel Goleman, 2009:109)
. Yang tampak jelas hanyalah petak-petak ubin dihadapan saya sewaktu saya berjalan menuju bangku di dekat pintu. Sewaktu saya membuka buku ujian yang bersampul biru itu, telinga saya dipenuhi suara degup jantung, kecemasan serasa menghantam perut. Saya melihat soal-soal ujian itu sekilas. Putus asa. Selama satu jam saya hanya mampu memandangi soal-soal itu, sementara pikiran saya berputar-putar merenungkan akibat yang akan saya tanggung. Gagasan yang sama terulang terus-menerus, membentuk lingkaran pita ketakutan dan kekhawatiran. Saya duduk tak bergerak persis seekor hewan yang mati kaku terkena panah beracun. Yang paling mengejutkan saya akan momen menakutkan itu adalah betapa otak saya jadi “macet”. Saya menyia-nyiakan waktu ujian dengan tidak berusaha membuat jawaban sebisa-bisanya. Saya tidak melamun. Saya hanya mampu duduk terpaku karena ketakutan, menunggu siksaan itu berakhir. (di kutip dari Emotional Intelligence oleh Daniel Goleman, 2009:109)
Peristiwa semacam ini mungkin pernah kita alami. Entah
mengapa, ketakutan/kecemasan dapat menghancurkan rencana yang telah kita susun
rapi. Motivasi dapat berubah menjadi tekanan, harapan dapat berubah menjadi
sikap pesimis. Daya konsentrasi berkurang, karena kita terfokus pada kecemasan.
Bila emosi mengalahkan konsentrasi, yang dilumpuhkan
adalah kemampuan mental yang oleh ilmuan kognitif disebut “working memory”,
yaitu kemampuan untuk menyimpan dalam benak semua informasi yang relevan dengan
tugas yang sedang dihadapi.
Pada akhir-akhir ini para ahli psikologi kognitif
menaruh perhatian besar terhadap keterkaitan antara aspek emosi dengan
proses-proses kognitif karena beberapa alasan yang dapat dikemukakan. Pertama, bahwa keadaan emosi dapat
mempengaruhi proses-proses kognitif dalam bentuk-bentuk atau cara-cara yang
sangat penting, bahkan berakibat fatal. Oleh sebab itu, ada sesuatu hal yang
esensial bagi psikologi untuk memahami apa dan bagaimana emosi mempengaruhi
aktivitas kognitif seseorang. Kedua, cara-cara yang lebih berguna
untuk dikembangkan, sehingga memungkinkan dilakukan manipulasi atau rekayasa
pengalaman emosi secara eksperimental sebagai variabel bebas. Misalnya suasana
emosinya dengan hipnotis atau verbal, sehingga membuat mereka mengalami emosi
sedih atau gembira pada saat itu. Dengan makin canggih metode yang dipergunakan
maka memungkinkan untuk dilakukan penelitian yang lebih luas. Ketiga,
keterbatasan penelitian yang dilakukan dalam bidang klinis. Sejak sepuluh tahun
yang lalu, kebanyakan penelitian mengenai pengaruh depresi terhadap ingatan dan
proses kognitif yang lain menggunakan pasien klinis, dan tidak melibatkan
rekayasa emosi pada orang-orang normal. Dengan begitu, tanpa dilakukan
manipulasi secara langsung terhadap emosi subjek yang normal maka sulit
diketahui dengan jelas apakah suatu proses kognitif memang dipengaruhi oleh
suasana emosi yang sedang berlangsung, atau karena faktor sindrom depresif
secara umum. Terakhir, tumbuhnya suatu keyakinan bahwa
pertimbangan teoritis tentang ingatan dan kognisi pada umumnya harus dapat
menjelaskan juga mengenai pengaruh aspek-aspek afektif atau emosi seperti
stres, kecemasan, depresi, nilai, arousal, terhadap
proses-proses kognitif. Dengan demikian, teori kognitif yang lengkap pada
akhirnya harus mencakup penjelasan tentang bagaimana peran-peran penting
aspek-aspek emosi di dalam keseluruhan proses kognitif manusia.
Apa saja yang mempengaruhi emosi, bagaimana working
memory tersebut bekerja? Kita akan membahas satu persatu mulai dari emosi,
motivasi, proses kognitif dan hubungan antara emosi, motivasi, dan proses
kognitif.
Emosi
Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak,
rencana seketika untuk mengatasi masalah yang telah tertanam melalui mekanisme
evolusi. Akar kata emosi adalah movere (bahasa latin) yang
berarti “menggerakkan, bergerak”, ditambah awalan “e-” untuk memberi
arti “bergerak menjauh”, menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak
merupakan hal mutlak dalam emosi.
Menurut kamus “Oxford English Dictionary”
mendefenisikan emosi sebagai “setiap kegiatan atau pergolakan pikiran,
perasaan, nafsu, setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap”. Secara
umum, para psikolog memfokuskan pendefenisian emosi pada tiga komponen utama:
perubahan fisiologis (perubahan pada wajah, otak dan tubuh), proses
kognitif (interpretasi suatu peristiwa), dan pengaruh budaya
(membentuk pengalaman dan ekspresi emosi). Emosi adalah
situasi stimulasi yang melibatkan perubahan pada tubuh dan wajah, aktivasi pada
otak, penilaian kognitif, perasaan subjektif, dan kecenderungan melakukan suatu
tindakan yang dibentuk seluruhnya oleh peraturan-peraturan yang terdapat di
suatu kebudayaan.
Sebagian ahli, menggolongkan antara emosi primer dan
emosi sekunder. Golongan emosi-emosi primer yang merupakan penggerak dasar
tingkah laku. Tingkah laku terwujud dari emosi primer ataupun sekunder
(gabungan antara beberapa emosi primer).
· Amarah: beringas, mengamuk, benci, marah
besar, jengkel, kesal hati, terganggu, rasa pahit (sinestesia), berang,
tersinggung, bermusuhan, dan brang kali yang paling hebat, tindak kekerasan dan
kebencian patologis.
· Kesedihan: pedih, sedih, muram, suram,
melankolis, mengasihani diri, kesepian, putus asa, ditolak, dan kalau menjadi
patologis, depresi berat.
· Rasa takut: Cemas, takut, gugup, khawatir,
was-was, perasaan takut sekali, khawatir, waspada, sedih, tidak tenang, ngeri,
takut sekali, kecut, dan sebagai patologi adalah fobia dan panic.
· Kenikmatan: bahagia, gembira, ringan, puas,
riang, senang, terhibur, bangga, kenikmatan indrawi, takjub, rasa terpesona,
rasa puas, rasa terpenuhi, kegirangan luar biasa, senang, senang sekali, dan
batas ujungnya mania
· Cinta: penerimaan, persahabatan, kepercayaan,
kebaikan hati, rsa dekat, bakti, hormat, kasmaran, kasih.
· Terkejut: terkejut, tersigap, takjub,
terpana.
· Jengkel: hina, jijik, muak, benci, tidak
suka, mau muntah (sinestesia).
· Malu: rasa salah, malu hati, kesal hati,
sesal, hina, aib, dan hati hancur lebur.
Aktivitas emosi dipengaruhi oleh aktivitas fisiologis
(otak dan transformasi hormon). Amigdala merupakan suatu bagian kecil dari
otak kita yang memiliki peran penting dalam emosi, terutama rasa takut.
Amigdala bertugas mengevaluasi informasi sensorik yang kita terima, dan
kemudian dengan cepat menentukan kepentingan emosionalnya, dan membuat
keputusan untuk mendekati atau menjauhi suatu objek atau suatu situasi.
Amigdala bekerja mengevalusi bahaya atau ancaman. Peran Prefrontal Cortex,
adalah merespon dan memotivasi respon-respon tertentu, mengatur dan menjaga
agar emosi tetap seimbang (perasan suka dan benci, menjauh dan mendekat dan
lain-lain).
Kelenjar yang berhubungan dengan emosi adalah kelenjar
adrenalin yang akan memproduksi hormone epinephrine dan norepinephrine.
Hormon ini bekerja sebagai respon terhadap beragam tantangan dalam lingkungan.
Hormone ini akan diproduksi pada saat tertawa, geli, marah, takut dan lain-lain.
Motivasi
Motivasi adalah dorongan dari dalam diri individu (drive)
yang membuat seseorang melakukan sesuatu. Motivasi seperti bahan bakar pada
mesin, menentukan mesin bergerak atau akan terdiam selamanya. Istilah motivasi,
seperti halnya kata emosi, berasal dari kata latin, yang berarti “bergerak”.
Ilmu psikologi tentu saja mempelajari motivasi, sasarannya adalah mempelajari
penyebab atau alasan yang membuat kita melakukan apa yang kita lakukan.
Motivasi merujuk pada pada proses yang menyebabkan organisme tersebut bergerak
menuju suatu tujuan, atau bergerak menjauh dari situasi yang tidak
menyenangkan.
Motivasi memiliki penekanan
pada tujuan (goals). Tujuan yang telah kita tetapkan dan alasan yang
kita miliki untuk mengejar tujuan tersebut akan menetapkan pencapaian (prestasi)
yang kita dapatkan, meskipun tidak semua tujuan akan menuntun kita pada
prestasi yang nyata. Tujuan dapat meningkatkan motivasi apabila kondisi berikut
ini:
ü Tujuan bersifat spesifik. Tujuan yang tidak
jelas, seperti “melakukan yang terbaik”, bukalah tujuan yang efektif,
tujuan ini bahkan tidak berbeda dengan tidak memiliki tujuan sama sekali. Kita
perlu lebih spesifik menentukan tujuan, termasuk menentukan waktu pengerjaan.
ü Tujuan harus menantang, namun dapat dicapai.
Kita cenderung bekerja keras untuk mencapai tujuan yang sulit namun realistis.
Semakin tinggi dan semakin sulit suatu tujuan maka semakin tinggi juga tingkat
motivasi dan kinerja kita, kecuali kita memilih suatu tujuan yang mustahil
dicapai.
ü Tujuan kita dibatasi pada mendapatkan apa yang
kita inginkan, bukannya apa yang tidak kita inginkan. Tujuan mendekat (approach
goal) merupakan penglaman positif yang kita harapkan secara langsung,
seperti mendapatkan nilai yang lebih baik atau mempelajari cara menyelam
dilaut. Tujuan menghindar (avoidance goal) melibatkan usaha menghindari
pengalaman yang tidak menyenangkan, seperti berusaha tidak mempermalukan diri
sendiri.
Mendefiniskan tujuan yang kita miliki akan semakin
mendekatkan kita dengan keberhasilan. Namun apa yang terjadi bila kita
menemukan rintangan? Beberapa orang akan menyerah saat menghadapi kesulitan
atau mundur, sedangkan beberapa orang lainnya justru termotivasi saat
menghadapi tantangan. Sebuah pertanyaan penelitian: Factor apakah yang dapat
memprediksi bahwa bakat, ambisi, dan IQ dapat memprediksi orang akan terus
berusaha atau akan menyerah? Pendapat umumnya menyatakan bahwa eksistensi
motivasi bersifat dikotomi (seseorang memiliki motivasi atau sebaliknya tidak
memiliki motivasi, tidak ada motivasi antar keduanya). Hal lain yang
mempengaruhi kekuatan motivasi seorang adalah jenis sasaran yang akan
diusahakan (apakah untuk menunjukkan kemampuan atau untuk mendapatkan kepuasan
dari proses tersebut).
Proses Kognitif
Proses kognitif areanya sangat luas (proses berpikir,
intelegensi, pengetahuan umum dan lain-lain). Disini kita hanya akan membahas
antara intelegensi dan emosi. Intelegensi emosional adalah suatu kemampuan
mengidentifikasi emosi yang dialami oleh diri sendiri dan orang lain dengan
akurat, kemampuan mengekspresikan emosi dengan tepat, dan kemampuan mengatur
emosi pada diri sendiri dan orang lain. Orang yang memiliki intelegensi
emosional (EQ) yang tinggi mampu menggunakan emosi mereka untuk meningkatkan
motivasi mereka, menstimulasi pemikiran yang kreatif, dan mengembangkan empati
terhadap orang lain. Orang-orang yang memiliki intelegensi emosi yang kurang
baik akan mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi emosi pada diri mereka
sendiri.
Beberapa orang memiliki argumen bahwa intelegensi
emosional bukanlah kemampuan kognitif yang spesial, melainkan kumpulan
karakteristik-karakteristik kepribadian, seperti empati dan ekstroversi.
Terlepas dari kontroversi yang ada, pengembangan konsep intelegensi merupakan
sesuatu yang sangat berguna bagi kita semua. Pengembangan tersebut memaksa kita
berpikir kritis mengenai makna intelegensi dan memaksa kita mempertimbangkan
beragam jenis “intelegensi” yang membantu kita
dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Pendekatan kognitif juga membantu
penyusuran berbagai strategi pembelajaran anak-anak yang mampu secara efektif
meningkatkan kemampuan anak dalam membaca, menulis, mengerjakan pekerjaan rumah
dan menjalani ujian. Sebagai contoh, anak-anak diajari menggunakan waktu dengan
bijak sehingga tidak menunda-nunda dan mampu membedakan persiapan untuk ujian
pilihan ganda dengan ujian essai. Yang paling penting, berbagai pendekatan baru
dalam menjelaskan intelegensi telah menghapus set mental yang keliru, yang
menganggap intelegensi yang diukur oleh tes IQ satu-satunya variabel yang menentukan
berhasil atau tidaknya seseorang dalam kehidupannya.
Hubungan Emosi, Motivasi dan Proses Kognitif
Berbagai temuan yang mengindikasikan adanya
pengaruh-pengaruh keadaan emosi seseorang terhadap aktivitas kognisi dapat
dilihat dalam beberapa pendekatan teoritis. Khusus pendekatan arousal, disini
membahas tentang emosi, motivasi dan pengaruhnya terhadap proses kognitif yang
sedang berlangsung.
A. Network Theory (teori jaringan kerja)
Teori ini dikembangkan oleh Gordon Bower dkk (1980).
Teori ini didasarkan atas asumsi bahwa emosi-emosi disimpan sebagai node-node
atau komponen-komponen di dalam ingatan semantik. Setiap emosi yang menonjol
seperti gembira, murung (depresi), atau ketakutan, memiliki komponen atau unit
khusus di dalam ingatan yang terkumpul bersama-sama dengan banyak emosi yang
lain seperti jaringan. Masing-masing unit emosi tersebut juga dihubungkan oleh
proposisi yang menggambarkan peristiwa-peristiwa yang terjadi ketika seseorang
sedang mengalami emosi itu. Node-node emosi ini dapat diaktifkan kembali oleh
berbagai stimulus, misalnya simbol-simbol bahasa atau objek-objek fisik.
Contoh: kenangan indah yang pernah dialami pada waktu
masih muda, dapat dimunculkan kembali dari ingatan seseorang ketika
mendengarkan lagu-lagu atau kenangan masa lalu.
B. Schema Theory (Tori Skema)
Teori ini berpandangan bahwa orang-orang yang memiliki
emosi atau suasana hati tertentu memiliki suatu bungkai kerja yang
digeneralisasikan yang disebut skema yang serupa dengan suasana hati tersebut.
Jadi, orang yang sedang mengalami kesedihan akan memiliki skema sedih dan
menggunakannya untuk mengorganisasikan informasi.
Teori skema secara konseptual hampir serupa dengan
teori network, karena keduanya mendasarkan pandangan pada struktur pengetahuan (knowledge
structures) yang berupa suatu jaringan atau skema di dalam system kognitif
manusia. Perbedaan yang menonjol antara kedua teori ini adalah:
ü Teori network berpijak pada asumsi bahwa
suatu unit emosi dapat diaktifkan kembali dari jaringan seseorang, sementara
teori skema menggunakan asumsi berupa pemberlakuan kerangka kerja yang disebut
skema terhadap informasi yang baru atau di kemudian.
ü Teori network lebih terkenal daripada teori
skema. Namun, dewasa ini teori skema mengalami perkembangan dan kemajuan,
sehingga sekarang para ahli psikologi juga mulai banyak menggunakan teori skema
untuk menjelaskan berbagai fenomena kognitif manusia.
C. Resource Allocation or Capasity Model (Teori
Alokasi Sumber kapasitas)
Teori ini dikembangkan secara luas oleh Henry Ellis
dkk (sejak pertengahan tahun 1980-an). Ide dasar dari teori ini adalah
pemberian jatah kapasitas perhatian terhadap suatu tugas yang cocok. Ada dua
hal yang perlu dipertimbangkan:
ü Peranan keadaan emosional dalam mengatur jumlah
kapasitas yang diperuntukkan bagi beberapa tugas kognitif.
ü Permintaan
atau tuntutan tugas -tugas itu sendiri terhadap pemrosesan kapasitas.
Model ini diambil dari konsep tentang alokasi terhadap
sumber-sumber kapasitas yang merupakan bagian dari teori kapasitas yang
merupakan bagian dari teori kapasitas umum untuk menerangkan fenomena perhatian
(attention). Teori ini berasumsi bahwa terdapat keterbatasan sumber
kapasitas perhatian yang dapat dialokasikan oleh seseorang kepada setiap tugas
yang dikerjakan.
D. Teori Arousal
Arousal adalah keadaan emosi seseorang yang berkaitan
dengan gairah, nafsu, semangat, termotivasi, atau kebangkitan. Jadi arousal
dapat bergerak dari keadaan yang penuh semangat, gairah, atau kebangkitan,
sampai pada keadaan sebaliknya yakni tidak bersemangat, tidak bergairah sama
sekali, atau malas. Emosi-emosi seperti ini sangat memepengaruhi kinerja
seseorang menyelesaikan tugas-tugas kognitif misalnya mengingat, belajar,
membuat keputusan dan memecahkan masalah.
Yerkes & Dodson telah menguji hubungan antara
arousal dengan kinerja seseorang dalam suatu tugas. Dia berasumsi bahwa:
a. Hubungan antara tingkat tekanan, semangat, atau
keadaan termotivasi dengan kinerja dalam tugas adalahberbentuk kurva “U”
terbalik. Kinerja optimal dapat terjadi apabila semangat (arousal) berada pada
tingkat yang sedang atau moderat.
b.
tinggi
Tingkat optimal dari semangat atau gairah berhubungan
secara terbalik dengan tingkat kesulitan tugas.
Kinerja
Buruk
Tinggi
Rendah
Tingkat Arousal
Apabila seseorang berada pada tingkat arousal atau
semangat yang sangat tinggi, atau sebaliknya sangat rendah, ia cendeerung
menunjukkan kinerja yang kurang efektif. Alasannya adalah:
ü Kinerja buruk pada semangat tingkat rendah
disebabkan karena banyak isyarat yang tidak relevan pada tugas pada saat itu
muncul dalam pikiran seseorang.
ü Kinerja buruk pada semangat tingkat tinggi
disebabkan karena beberapa isyarat yang relevan dengan tugas pada saat itu
diabaikan.
Kognisi manusia tidak selalu bersifat rasional karena
melibatkan banyak bias dalam persepsi dan dalam ingatan manusia. Sebaliknya,
emosi juga tidak selalu bersifat rasional, emosi dapat menyatukan manusia,
mengatur jalannya sebuah hubungan dan memotivasi orang dalam mencapai suatu
sasaran. Tanpa kemampuan merasakan emosi, manusia akan mengalami kesulitan
dalam mengambil keputusan atau dalam merencanakan masa depannya.
Beberapa contoh pengaruh emosi dan proses kognitif
adalah:
o Suasana hati dan pemilihan informasi
Gagasan mengenai pengaruh suasana hati terhadap
pemilihan informasi disebut mood conqruence effect. Pengaruh yang
menunjuk pada penemuan bahwa orang-orang lebih cenderung mengingat informasi
yang sesuai atau sama seperti keadaan suasana hati yang sedang dialami pada
waktu mereka mempelajari suatu materi atau memproses informasi.
o Suasana hati dan mengingat kembali
Efek ketergantungan terhadap suasana hati muncul
apabila materi dalam suasana hati tertentu diingat kembali dengan baik apabila
seseorang diuji dalam suasana hati yang serupa dengan ketika ia mempelajari
atau menerima informasi tersebut.
o Suasana hati dan proses transformasi informasi
Transformasi informasi dikenal sebagai incoding,
ialah informasi disimpan didalam gudang ingatan setelah informasi itu diterima
melalui alat indera (sensory).
o Suasana hati dan ketepatan menilai hubungan
Jika pada beberapa proses kognisi yang lain orang
melihat pengaruh dari keadaan emosi sedih seperti depresi dan stres lebih
bersifat merusak atau mengganggu dari pada menguntungkan. Tapi ini dapat
terjadi sebaliknya.
o Suasana hati dan penggalian informasi
Ada dua kemungkinan, dimana suasana hati akan
mempengaruhi proses penggalian informasi, menguntungkan atau merugikan.
o Suasana hati dan proses berusaha
Pengaruh ini sangat bergantung pada jenis tugas yang
diberikan kepada seseorang.
o Kecemasan dan kinerja
Banyak penelitian menunjukkan bahwa kecemasan memiliki
pengaruh negatif yang berkibat menurunkan pengaruh negatif yang berakibat
menurunkan kapasitas kognitif seseorang dalam mengerjakan tugas-tugas yang
lebih sukar atau konplek.
o Emosi dan kesaksian
Banyak dijumpai bahwa, keadaan stres atau cemas dapat
menyebabkan ingatan seseorang terganggu. Stres berat dapat mengurangi ketepatan
pemberian kesaksian oleh seorang saksi mata ketika berada di ruang pengadilan.
o Suasana hati dan atribusi
Susana hati yang baik atau buruk dapat menyebabkan
keberhasilan atau kegagalan dari kinerja. Dari hasil penelitian penelitian
menunjukkan bahwa suasana hati mempunyai pengaruh yang bersifat moderat
terhadap atribusi yang dilakukan seseorang.
o Suasana hati dan pemecahan masalah secara kreatif
Secara umum dapat dikatakan bahwa suasana hti positif
lebih meningkatkan perilaku kreatif daripada suasana hati yang netral,
sedangkan suasana hati yang negatif cenderung menurunkan perilaku kreatif.
o Suasana hati dan pembuatan keputusan
Proses pembuatan keputusan dapat dipeengaruhioleh
faktor afeksi. Faktor afeksi yang sering dijadikan variabel penelitian adalah
suasana hati (mood), misalnya sedih, marah atau cemas atau sebaliknya
bahagia atau senang.
Daftar Pustaka
Suharnan, MS. 2005. Psikologi Kognitif. Surabaya: Srikandi
Sternberg, Robrt J. 2008. Psikologi Kognitif. Edisi Keempat. Yogyakarta:
Pustaka Peelajar
Chaplin J.P. 1981. Kamus Lengkap PSIKOLOGI. Terjemah. Jakarta: Rajawali
Press.
Goleman, Daniel. 2009. Emotional Intelligence. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama
Carole Wide & Carole Tavris. 2007. Psikologi Umum. Edisi Kesembilan.
Jilid 1 & 2. Jakarta: Erlangga
Kecemasan (anxiety)
adalah perasaan takut dan keprihatinan mengenai masa-masa mendatang tanpa
sebab khusus anxiety tersebut (Lihat kamus lengkap psikologi, oleh J.P.
Chaplin).
Aorusal: Pembangkitan/fungsi
pembangkitan; keadaan umum kesiapan cortical (kesiagaan, kewaspadaan penajaman
perhatian). J.P Chaplin. Kamus Lengkap Psikologi.
Motivasi
berdasarkan sumber pengaktifannya dibagi menjadi motivasi intrinsic (suatu
keinginan untuk melakukan suatu aktivitas atu meraih pencapaian tertentu
semata-mata demi kesenangan atau kepuasan yang didapat dari melakukan aktivitas
tersebut) dan motivasi ekstrinsik (keinginan untuk mengejar suatu tujuan
yang diakibatkan oleh imbalan-imbalan eksternal).
Intelegensi
menurut Garder dibagi menjadi: Keserdasan matematika logika, Kecerdasan
bahasa, Kecerdasan musical, Kecerdsan visual spatial, Keecerdasan kinestetik,
Kecerdasan intrpersonal, Kecerdasan intrapersonal, Kecerdasan natural.
Share on :
0digg
Related post:
Psikologi Umum
Posting Komentar