Perkembangan Moral, Nilai dan Agama Anak Usia Dini
1.
Pengertian
Moral, Nilai dan Agama
a.
Pengertian
Nilai
Nilai merupakan sesuatu yang diyakini
kebenarannya dan mendorong orang untuk mewujudkannya. nilai merupakan sesuatu
yang memungkinkan individu atau kelompok sosial membuat keputusan mengenai apa
yang dibutuhkan atau sebagai suatu yang ingin dicapai (Harrocks, 1976).
Menurut Spranger, nilai
diartikan sebagai suatu tatanan yang dijadikan panduan oleh individu untuk
menimbang dan memilih alternative keputusan dalam situasi sosial tertentu
(Sunaryo Kartadinata, 1988). Spranger menggolongkan nilai kedalam enam jenis,
yaitu:
a. Nilai teori atau nilai keilmuan
yaitu yang mendasari perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang bekerja
terutama atas dasar pertimbangan rasional.
b. Nilai ekonomi yaitu suatu nilai
yang mendasari perbuatan seseorang atau sekelompok orang atas dasar
pertimbangan ada tidaknya keuntungan financial sebagai akibat dari perbuatannya
itu.
c. Nilai sosial atau nilai
solidaritas yaitu suatu nilai yang mendasari perbuatan seseorang terhadap orang
lain tanpa menghiraukan akibat yang mungkin timbul terhadap dirinya sendiri.
d. Nilai agama yaitu suatu nilai
yang mendasari perbuatan seseorang atas dasar pertimbangan kepercayaan bahwa
sesuatu itu dipandang benar menurut ajaran agama.
e. Nilai seni yaitu suatu nilai
yang mendasari perbuatan seseorang atau sekelompok orang atas dasar keindahan
atau rasa seni yang terlepas dari berbagai pertimbangan material.
f. Nilai politik atau nilai kuasa
yaitu suatu nilai yang mendasari perbuatan seseorang atau sekelompok orang atas
dasar pertimbangan baik buruknya untuk kepentingan dirinya atau kelompok.
Nilai
adalah suatu yang diyakini, dipercaya, dan dirasakan serta diwujudkan dalam
sikap atau perilak. Biasanya, nilai bermuatan pegalaman emosional masa lalu
yang mewarnai cita-cita seseorang, kelompok atau masyarakat. Moral merupakan
wujud abstrak dari nilai-nilai, dan tampila secara nyata/kongkret dalam
perilaku terbuka yang dapat diamati. Sikap moral muncul dalam praktek moral
dengan kategori positif/menerim, netral, atau negatif/menolak.
Anak
yang bersikap positif atau menerima nilai-nilai mora, diekspresiakan dalam
perilaku yang bersimpati dalam berinteraksi dengan nilai dan orang
disekitarnya, seperti mau menerima, mendukung, peduli, dan berpartisipasi dalam
kegiatan kelompok. Sikap moral yang netral diekspresikan dalam perilaku sikap
tidak memihak (mendukung atau menolak) terhadap nilai yang ada di masyarakat.
Siakp moral yang negatif diekspresikan dalam perilaku menolak yang diwarnai
emosi dan sikap negatif seperti kecewa, kesal, marah, benci, bermusuhan, dan
menentang, perhadap nilai moral yang ada di masyarakat.
Pada
sikap dan perilaku moral tersirat nilai-nilai yang dianit berkaitan dengan
nilai mengenai sesuatu yang dikatakan baik dan benar, patut, dan seharusnya
terjadi. Sikap moral sebagian besar diteruskan dari generasi ke generasi
melalui proses pendidiakan seumur hidup. Ada nilai-nilai yang perlu
dipertahankan, ada yangdiasimilasikan ke arah kemajuan atau perubahan
progresif, tetapi ada juga yang berubah atau bergeser karena berbagai faktor
yang mempengaruhinya. Sebagai guru, anda perlu memahami perkembangan sikap
moral agar dapat membantu peserta didik mengembangkan sikap moral yang dikendaki,
mendidik peserta didik menjadi anak yang baik, dan bersikap moral secara baik
dan benar.
Jadi,
nilai adalah suatu yang diyakini, dipercayai, dirasakan dan diwujudkan dalam
sikap/perilaku.
b.
Pengertian
Moral
Moral
berasal dari kata latin “mores” yang berarti tata cara. kebiasaan, dan adat.
Perilaku sikap moral berarti perilaku yang sesuai dengan kode moral kelompok
sosial, yang dikembangakan oleh konsep moral. Yang dimaksud dengan konsep moral
ialah peraturan perilaku yang telah menjadi kebiasaan bagi anggota suatu
budaya. Konsep moral inilah yang menentukan pola perilaku yang diharapakan dari
seluruh anggota kelompok.
Menurut
piaget (sinilungan, 1997), hakikat moralitas adalah kecenderungan menerima
dan menaati sistem peraturan. Selanjutnya, kohlberg (gnarsa, 1985) mengemukakan
bahwa aspek moral adalah sesuatu yang tidak dibawa dari lahir, tapisesuatu yang
berkembang dan dapat diperkembangkan/dipelajari. Perkembangan moral merupakan
proses internalisasi nilai/norma masyarakat sesuai dengan kematangan dan
kemampuan seseorang dalam menyesuaikan diri terhadap aturan yang berlaku dalam
kehidupannya. Jadi, perkembangan moral mencangkupaspek kognitif yaitu
pengetahuan tentang baik/buruk atau benar/salah, dan aspek afektif yaitu sikap
perilaku moral itu dipraktekkan. piaget mengajukan perkembangan moral, yang
digambarkan pada aturan permainan. Menurut beliau hakekat moralitas adalah
kecenderungan menerima dan menaati sistem peraturan.
c.
Pengertian
Agama
Menurut Zakiah Darajat
(dalam Lilis Suryani dkk., 2008: 1.9), agama suatu keimanan yang diyakini oleh
pikiran, diresapkan oleh perasaan, dan dilaksanakan dalam tindakan, perkataan,
dan sikap. Perkembangan nilai-nilai
agama artinya perkembangan dalam kemampuan memahami, mempercayai, dan
menjunjung tinggi kebenaran-kebenaran yang berasal dari Sang Pencipta, dan
berusaha menjadikan apa yang dipercayai sebagai pedoman dalam bertutur kata,
bersikap dan bertingkah laku dalam berbgaia situasi.
Al-Quran
menyebutkan bahwa beragama merupakan fitrah manusia, “Maka hadapkanlah
wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang
telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah
Allah. (Itulah)agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
(Q.S. al-Rum: 30).
Rasulullah
saaw bersabda : “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Orang
tuanyalah yang akan menjadikan ia sebagai yahudi atau nasrani.” Dan Imam
Ja’far Shadiq as. menyatakan bahwa fitrah itu berarti tauhid (mengesakan
Tuhan), Islam, dan juga ma’rifah (mengenal Tuhan). (Al-Kulaini,
Al-Kafi Jilid 2, h. 12-13).
Imam Khumaini dalam buku 40 hadisnya menambahkan bahwa yang
dimaksud dengan fitrah Allah yang semua manusia tercipta dengannya adalah
kondisi dan kualitas penciptaan manusia. Semua manusia, tanpa terkecuali,
tercipta dengan fitrah itu sebagai konsekuensi keberadaannya. Fitrah ini telah
terkait erat dengan esensi wujudnya. Fitrah adalah salah satu rahmat Allah Swt.
yang khusus dianugerahkan kepada manusia.
Para ahli tafsir menjelaskan bahwa : seluruh manusia memiliki
jiwa keberagamaan yang tertanam dalam dan tidak bisa dihilangkan. Maksud
dari din (agama) dalam ayat ini bisa berarti sekumpulan ajaran-ajaran
dan hukum-hukum pokok Islam, atau kondisi penyerahan diri dan tunduk secara
total di hadapan Allah. Alhasil, dari ayat di atas dapat dipahami bahwa
mengenal Tuhan dan meyembahnya adalah hal yang bersifat fitri dan telah
dibawa sejak lahir. Jadi, manusia adalah makhluk beragama.
2. Perkembangan Moral, Nilai dan Agama Anak Usia Dini
a.
Perkembangan Moral
dan Nilai
Mempelajari
perkembangan sikap moral peserta didik usia sekolah, piaget (sinolungun, 1997)
mengemukakan tiga tahap perkembangan moral sesuai dengan kajian pada aturan
dalam permainan anak.
1. Fase absolut,
dimana anak menghayati peraturan sebagai sesuatu hal yang mutlak, tidak dapat
diubah, karena berasal dari otoritas yang dihormati (orang tua, guru, anak yang
lebih berkuasa)
2. Fase realitas,
dimana anak menyesuaikan diri untuk menghindari penolakan orang lain. Dalam
permainan, anak menaati aturan yang disepakati bersama sebagai suatu
kenyataan/realitas yang dapat diubah asal disetujui bersama.
3. Fase subjektif,
dimana anak memperhatikan motif atau kesengajaandalam memahami aturan dan
gembira mengembangakan sertamenerapkan.
Dalam kategori perkembangan moralnya, kohlberg (gunarsa,
1985) mengemukakan tiga tingkat dengan enam tahap perkembangan moral.
1. Tingkat 1:
prakonvensional.
Pada tingkat ini aturan berisi aturan moral yang dibuat
berdasarkan otoritas. Anak tidak melanggar aturan moral karana takut ancaman
atau hukuman dari otoritas. Tingkat ini dibagi menjadi 2 tahap:
(1)
Kepatuhan dan orientasi hukum, tahap orientasi terhadap
kepatuhan dan hukuman pada tahap ini anak hanya mengetahui bahwa aturan-aturan
ini ditentukan oleh adanya kekuasaan yang tidak bisa diganggu gugat. Anak harus
menurut, atau kalau tidak, akan mendapat hukuman.
(2) tahap relativistik hedonisme, pada tahap ini anak tidak
lagi secara mutlak tergantung pada aturan yang berada di luar dirinya yang
ditentukan orang lain yang memiliki otoritas. Anak mulai sadar bahwa setiap
kejadian mempunyai beberapa segi yang bergantung pada kebutuhan (relativisme) dan
kesenangan seseorang (hedonisme).
2. Tingkat 2:
konvensional.
Pada tingkatan ini anak mematuhi aturan yang dibuat bersama
agar diterima dalam kelompoknya. Tingkat ini juga terdiri dari dua tahap.
(1) tahap orientasi
mengenai anak yang baik. Pada tahap ini anak mulai memperlihatkan orientasi
perbuatan yang dapat dinilai baik atau tidak baik oleh orang lain atau
masyarakat. Sesuatu dikatakan baik dan benar apabila sikap dan perilakunya
dapat diterima oleh orang lain atau masyarakat.
(2) tahap
mempertahankan norma sosial dan otoritas. Pada tahap ini anak menunjukkan
perbuatan baik dan benar bukan hanya agar dapat diterima oleh lingkungan
masyarakat di sekitarnya, tetapi juga bertujuan agar dapat ikut mempertahankan
aturan dan norma/ nilai sosial yang ada sebagai kewajiban dan tanggung jawab
moral untuk melaksanakan aturan yang ada.
3. Tingkat 3: pasca
konvensional.
Pada tingkat ini anak mematuhi aturan untuk menghindari
hukuman kata hatinya. Tingkat ini juga terdiri dari dua tahap.
(1) tahap orientasi terhadap perjanjian antara dirinya dengan
lingkungan sosial. Pada tahap ini ada hubungan timbal balik antara dirinya
dengan lingkungan sosial dan masyarakat. Seseorang menaati aturan sebagai
kewajiban dan tanggung jawab dirinya dalam menjaga keserasian hidup masyarakat.
(2) tahap universal. Pada tahap ini selain ada norma pribadi
yang bersifat subyektif ada juga norma etik (baik/ buruk, benar/ salah) yang
bersifat universal sebagai sumber menentukan sesuatu perbuatan yang berhubungan
dengan moralitas.
Teori perkembangan moral yang dikemukakan Kohlberg seperti
halnya Piaget menunjukkan bahwa sikap dan perilaku moral bukan hasil
sosialisasi atau pelajaran yang diperoleh dari kebiasaan yang berhubungan
dengan nilai kebudayaan semata-mata. Tetapi juga terjadi sebagai akibat dari
aktivitas spontan yang dipelajari dan berkembang melalui interaksi sosial anak
dengan lingkungannya.
Selain teori perkembangan moral, dalam mempelajari pola
perkembangan moral yang berkaitan dengan ketaatan akan suatu aturan yang
berlaku universal, perlu dibahas mengenai disiplin. Disiplin berasal dari kata
”disciple” yang berarti seseorang yang belajar dari atau secara sukarela
mengikuti seorang pemimpin. Disiplin diperlukan untuk membentuk perilaku yang
sesuai dengan aturan dan peran yang ditetapkan dalam kelompok budaya tempat
orang tersebut menjalani kehidupan. Melalui disiplin, anak belajar untuk
bersikap dan berperilaku yang baik seperti yang diharapkan oleh masyarakat
lingkungan. Disiplin dapat ditanamkan secara otoriter melalui pengendalian
perilaku dengan menggunakan hubungan. Secara permisif/ laissezfaire melalui
kebebbasan yang diberikan kepada anak tanpa adanya hukuman atau secara
demokratis melalui penjelasan, diskusi, dan penalaran mengani peraturan yang berlaku.
Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Perkembangan Moral:
Anak
dilahirkan tanpa moral (imoral) sikap moral untuk berperilaku sesuai
nilai-nilai luhur dalam masyarakat belum dikenalnya. Intervensi terprogram
melalui pendidikan, serta lingkungan sosial budaya, mempengaruhi perkembangan
struktur kepribadian bermuatan moral. Ini dialami dalam keluarga bersama teman
sebaya dan rekan-rekan sependidikan, kawan sekerja/kegiatan ditengah
lingkungan.
a.
Perubahan dalam lingkungan
Perubahan
dan kemajuan dalam berbagai bidang membawa pergeseran nilai moral serta sikap
warga masyarakat ditengah perubahan dapat terjadi kemajuan/kemrosotan moral.
Perbedaan perilaku moral individu sebagian adalah dampak pengalaman dan
pelajaran dari lingkungan nilai masyarakatnya. Lingkungan memberi ganjaran dan
hukuman. Ini memacu proses belajar dan perkembangan moral secara berkondisi.
b.
Struktur kepribadian
Psiko
analisa (freud) menggambarkan perkembangan kepribadian termasuk moral. Dimulai
dengan sistem ID, selaku aspek biologis yang irasional dan tak disadari.
Diikuti aspek psikologis yaitu subsistemego yang rasional dan sadar. Kemudian
pembentukan superego sebagai aspek sosial yang berisi sistem nilai dan moral
masyarakat.
Ketiga subsistem kepribadian tersebut mempengaruhi perkembangan moral dan perilaku individu. Ketidakserasian antara subsistem kepribadian, berakibat seseorang sukar menyesuaikan diri, merasa tak puas dan cemas serta bersikap/berperilaku menyimpang. Sedang keserasian antara subsistem kepribadian dalam perkembangan moral akan berpuncak pada efektifnya kata hati (superego) menampilakan watak/perilaku bermoral seseorang.
Ketiga subsistem kepribadian tersebut mempengaruhi perkembangan moral dan perilaku individu. Ketidakserasian antara subsistem kepribadian, berakibat seseorang sukar menyesuaikan diri, merasa tak puas dan cemas serta bersikap/berperilaku menyimpang. Sedang keserasian antara subsistem kepribadian dalam perkembangan moral akan berpuncak pada efektifnya kata hati (superego) menampilakan watak/perilaku bermoral seseorang.
Strategi dan Teknik Pengembangan
Moral Anak Usia Dini
Pengembangan
moral anak usia dini dilakukan agar terbentuk perilaku moral. Pembentukan perilaku
moral pada anak, khususnya pada anak usia dini memerlukan perhatian serta
pemahaman terhadap dasar-dasar serta berbagai kondisi yang mempengaruhi dan
menenytukan perilaku moral. Ada 3 strategi dalam pembentukan perilaku moral
pada anak usia dini, yaitu: strategi latihan dan pembiasaan, 2. Strategi
aktivitas dan bermain, dan 3. Strategi pembelajaran (Wantah, 2005: 109).
1.
Strategi
Latihan dan Pembiasaan
Latihan dan
pembiasaan merupakan strategi yang efektif untuk membentuk perilaku tertentu
pada anak-anak, termasuk perilaku moral. Dengan latihan dan pembiasaan
terbentuklah perilaku yang bersifat relatif menetap. Misalnya, jika anak
dibiasakan untuk menghormati anak yang lebih tua atau orang dewasa lainnya,
maka anak memiliki kebiasaan yang baik, yaitu selalu menghormati kakaknya atau
orang tuanya.
2.
Strategi
Aktivitas Bermain
Bermain
merupakan aktivitas yang dilakukan oleh setiap anak dapat digunakan dan
dikelola untuk pengembangan perilaku moral pada anak. Menurut hasil penelitian
Piaget (dalam Wantah, 2005: 116), menunjukkan bahwa perkembangan perilaku moral
anak usia dini terjadi melalui kegiatan bermain. Pada mulanya anak bermain
sendiri tanpa dengan menggunakan mainan. Setelah itu anak bermain menggunakan
mainan namun dilakukan sendiri. Kemudian anak bermain bersama temannya bersama
temannya namun belum mengikuti aturan-aturan yang berlaku. Selanjutnya anak
bermain bersama dengan teman-temannya berdasarkan aturan yang berlaku.
3.
Strategi
Pembelajaran
Usaha
pengembangan moral anak usia dini dapat dilakukan dengan strategi pembelajaran
moral. Pendidikan moral dapat disamakan dengan pembelajaran nilai-nilai dan
pengembangan watak yang diharapkan dapat dimanifestasikan dalam diri dan
perilaku seseorang seperti kejujuran, keberanian, persahabatan, dan penghargaan
(Wantah, 2005: 123).
Pembelajaran
moral dalam konteks ini tidak semata-mata sebagai suatu situasi seperti yang
terjadi dalam kelas-kelas belajar formal di sekolah, apalagi pembelajaran ini
ditujukan pada anak-anak usia dini dengan cirri utamanya senang bermain. Dari
segi tahapan perkembangan moral, strategi pembelajaran moral berbeda
orientasinya antara tahapan yang satu dengan lainnya. Pada anak usia 0 – 2
tahun pembelajaran lebih banyak berorientasi pada latihan aktivitas motorik dan
pemenuhan kebutuhan anak secara proporsional. Pada anak usia antara 2 – 4 tahun
pembelajaran moral lebih diarahkan pada pembentukan rasa kemandirian anak dalam
memasuki dan menghadapi lingkungan. Untuk anak usia 4 – 6 tahun strategi
pembelajaran moral diarahkan pada pembentukan inisiatif anak untuk memecahkan
masalah yang berhubungan dengan perilaku baik dan buruk.
b.
Perkembangan Agama
Adapun dalam pandangan para
psikolog agama, perkembangan keberagamaan pada anak melalui tiga tahapan
penting, yaitu sebagai berikut :
1.
The Fairy Tale Stage (tingkat dongeng). Hal ini ditandai dengan
kesenangan anak-anak bercerita hal-hal yang luar biasa seperti kebesaran,
kehebatan, dan kekuatan Tuhan. Tidak jarang anak membandingkan Tuhan dengan
tokoh-tokoh yang ia kenal seperti Power Rangers.
2.
The Realistic Stage (Tingkat Kenyataan). Ini tampak dengan mulai
pahamnya anak-anak tersebut tentang wujud Allah swt sebagai sosok yang Maha
Besar dan Maha Kuat, serta pencipta. Dari sini anak menyadari bahwa kepatuhan
kepada-Nya adalah suatu yang lumrah dan mesti. Inilah yang menyebabkan mereka
bergairah mengikuti acara-acara keagamaan.
3.
The Individual Stage (Tingkat Individu). Tanda ini terlihat pada
sensitivitas keberagamaan anak. Tahap ini dibagi kepada tiga golongan :
1.
Konsep ketuhanan yang
konvensional dan konservatif. Anak takut kemurkaan Allah; dan neraka; sedangkan
orang baik akan dimasukkah surga, sebuah taman bermain yang indah.
2.
Konsep ketuhanan yang lebih murni
yang dinyatakan dalam pendangan yang bersifat personal (perorangan). Di sini
anak ingin meniru Tuhan dan dekat dengan-Nya; Ingin merasakan sentuhan kasih
Tuhan dan menampung internalisasi kekuatan Tuhan.
3.
Konsep ketuhanan yang bersifat
humanistik. Tanda ini tampak pada pengakuan mereka akan pentingnya keadilan.
Buruknya perbuatan jahat, sehingga jika melakukannya anak akan gelisah,
bingung, sedih, dan juga malu.
Adapun ciri dan sifat keberagamaan pada anak-anak sebagai berikut :
1.
Unreflective (tidak mendalam). Ini kentara sekali pada ciri antropomorfisme,
yang mengungkapkan Tuhan seperti makhluk lainnya, misalnya punya mata, punya
telinga, dan lainnya.
2.
Egosentris (Egocentric
Orientation). Anak mengharapkan adanya imbalan
bagi semua aktivitas yang dilakukannya. Pada sisi lain anak cenderung tidak mau
disalahkan, tetapi senang mendapat pujian.
3.
Eksperimentasi (Experimentation).
Anak mengharapkan pembuktian akan keyakinan yang ada dibenaknya.
4.
Inisiatif (Initiative), misalnya ditandai dengan pikiran bahwa ia mudah keluar dari kepungan api
neraka, karena pengalamannya setiap berbuat kesalahan tidak mendapatkan azab
yang sering ditakut-takutkan.
5.
Spontanitas (Spontaneity). Misalnya, tampak pada pertanyaan atau jawaban yang dilontarkan anak dengan
polosnya. Dia mengemukakan persis seperti apa yang diberitahukan guru atau
orang tuanya.
6.
Verbalis dan Ritualis, yang diindikasikan dengan hapalan-hapalan yang tanpa
makna. Saat ditanyakan “Apakah marah itu perbuatan baik atau buruk?” Mereka
menjawab, “Buruk!”. Kemudian saat diajukan proposisi logis, “kalau begitu
Allah, dan orang tuanya sering berbuat buruk karena sering marah-marah.” Anak
bingung dan gelisah.
7.
Imitatif, tampak pada peniruan yang nyata dilakukan anak, seperti berdoa dan salat.
Pembiasaan keluarga sangat berpengaruh pada anak, seperti berdoa mau makan,
tidur, senang ke mesjid beramai-ramai.
8.
Rasa Heran dan Kagum, yaitu ditandai dengan keinginan kuat anak menjadi sakti dan mendapat
limpahan kekuatan Tuhan. Mempertanyakan kehebatan dan kebesaran Tuhan yang
menjadi pencipta manusia.
Sedangkan alur
pembentukan pengetahuan keagamaan anak tersebut terjadi dalam enam tahap,
sebagai berikut :
1.
Fitrah yang merupakan format
khusus penciptaan manusia. Meskipun awalnya tidak mendalam, tetapi menjadi
model dan modal yang berharga bagi perkembangan keberagamaan anak.
2.
Pengetahuan imajinatif yang
membuat anak penuh khayalan-khayalan. Imajinasi ini menjadikan anak manafsirkan
secara sendiri akan berbagai informasi yang diterimanya selama ini dari
lingkungan sekitarnya.
3.
Pencarian dialektik yang
dilakukan dengan melemparkan berbagai pertanyaan dan menanggapi secara
spontanitas berbagai jawaban yang diberikan untuk mendapatkan informasi yang
lebih banyak.
4.
Pencarian maknawiyah yang
diindikasikan dengan perilaku religius dan ritual-ritual yang fantastis, penuh
eksperimentasi, inisiatif, dan imitative. Pencarian maknawiyah ini
memberikan peran penting untuk membentuk sikap dan pandangan anak terhadap
agama, karena hal ini berhubungan secara langsung dengan pengalaman dirinya
sendiri saat memasuki ranah keberagamaan dengan berbagai ajaran dan
ritual-ritualnya.
5.
Internalisasi pengetahuan ke
dalam pikiran dan benak anak sehingga menjadi bagian dari kehidupan dan
keyakinannya. Ini bermanfaat untuk memberikan respon terhadap
informasi-informasi baru. Respon ini bisa lahir dalam bentuk kompromi, complaince,
atau juga konfrontatif.
6.
Keyakinan yang dipegang teguh.
Prinsip ini juga berbeda pada tiap anak yang secara sederhana dapat digolongkan
kepada dua yaitu keyakinan yang bersifat statis dan keyakinan yang bersifat
dinamis. Keyakinan yang statis berarti adalah keyakinan yang tidak berkembang
dan sulit menerima informasi baru yang menggugat keyakinannya. Sedangkan
keyakinan dinamis merupakan keyakinan yang penuh dengan kreatifitas,
selektifitas, dan analisis kritis terhadap informasi-informasi baru yang
diterimanya.
Pengembangan nilai-nilai agama
pada anak harus didasarkan pada karakteristik perkembangan anak. Jika
memperhatikan pendapat Ernest Harms sebagaimana dikemukakan di atas, maka usaha
pengembangan nilai-nilai agama menjadi efektif jika dilakukan melalui
cerita-cerita yang di dalamnya terkandung ajaran-ajaran agama. Dengan demikian
daya fantasi anak berperan dalam menyerap nilai-nilai agama yang terdapat dalam
cerita yang diterimanya.
Referensi
perkembangan45.blogspot.com/2012/12/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html?m=1
Posting Komentar