nurul wardah
Perkembangan Moral, Nilai dan Agama Anak Usia Dini

   1.      Pengertian Moral, Nilai dan Agama  
a.      Pengertian Nilai
Nilai merupakan sesuatu yang diyakini kebenarannya dan mendorong orang untuk mewujudkannya. nilai merupakan sesuatu yang memungkinkan individu atau kelompok sosial membuat keputusan mengenai apa yang dibutuhkan atau sebagai suatu yang ingin dicapai (Harrocks, 1976).
Menurut Spranger, nilai diartikan sebagai suatu tatanan yang dijadikan panduan oleh individu untuk menimbang dan memilih alternative keputusan dalam situasi sosial tertentu (Sunaryo Kartadinata, 1988). Spranger menggolongkan nilai kedalam enam jenis, yaitu:
a.       Nilai teori atau nilai keilmuan yaitu yang mendasari perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang bekerja terutama atas dasar pertimbangan rasional.
b.      Nilai ekonomi yaitu suatu nilai yang mendasari perbuatan seseorang atau sekelompok orang atas dasar pertimbangan ada tidaknya keuntungan financial sebagai akibat dari perbuatannya itu.
c.       Nilai sosial atau nilai solidaritas yaitu suatu nilai yang mendasari perbuatan seseorang terhadap orang lain tanpa menghiraukan akibat yang mungkin timbul terhadap dirinya sendiri.
d.      Nilai agama yaitu suatu nilai yang mendasari perbuatan seseorang atas dasar pertimbangan kepercayaan bahwa sesuatu itu dipandang benar menurut ajaran agama.
e.       Nilai seni yaitu suatu nilai yang mendasari perbuatan seseorang atau sekelompok orang atas dasar keindahan atau rasa seni yang terlepas dari berbagai pertimbangan material.  
f.       Nilai politik atau nilai kuasa yaitu suatu nilai yang mendasari perbuatan seseorang atau sekelompok orang atas dasar pertimbangan baik buruknya untuk kepentingan dirinya atau kelompok.
 
Nilai adalah suatu yang diyakini, dipercaya, dan dirasakan serta diwujudkan dalam sikap atau perilak. Biasanya, nilai bermuatan pegalaman emosional masa lalu yang mewarnai cita-cita seseorang, kelompok atau masyarakat. Moral merupakan wujud abstrak dari nilai-nilai, dan tampila secara nyata/kongkret dalam perilaku terbuka yang dapat diamati. Sikap moral muncul dalam praktek moral dengan kategori positif/menerim, netral, atau negatif/menolak.
Anak yang bersikap positif atau menerima nilai-nilai mora, diekspresiakan dalam perilaku yang bersimpati dalam berinteraksi dengan nilai dan orang disekitarnya, seperti mau menerima, mendukung, peduli, dan berpartisipasi dalam kegiatan kelompok. Sikap moral yang netral diekspresikan dalam perilaku sikap tidak memihak (mendukung atau menolak) terhadap nilai yang ada di masyarakat. Siakp moral yang negatif diekspresikan dalam perilaku menolak yang diwarnai emosi dan sikap negatif seperti kecewa, kesal, marah, benci, bermusuhan, dan menentang, perhadap nilai moral yang ada di masyarakat.
Pada sikap dan perilaku moral tersirat nilai-nilai yang dianit berkaitan dengan nilai mengenai sesuatu yang dikatakan baik dan benar, patut, dan seharusnya terjadi. Sikap moral sebagian besar diteruskan dari generasi ke generasi melalui proses pendidiakan seumur hidup. Ada nilai-nilai yang perlu dipertahankan, ada yangdiasimilasikan ke arah kemajuan atau perubahan progresif, tetapi ada juga yang berubah atau bergeser karena berbagai faktor yang mempengaruhinya. Sebagai guru, anda perlu memahami perkembangan sikap moral agar dapat membantu peserta didik mengembangkan sikap moral yang dikendaki, mendidik peserta didik menjadi anak yang baik, dan bersikap moral secara baik dan benar.
Jadi, nilai adalah suatu yang diyakini, dipercayai, dirasakan dan diwujudkan dalam sikap/perilaku.

b.      Pengertian Moral
Moral berasal dari kata latin “mores” yang berarti tata cara. kebiasaan, dan adat. Perilaku sikap moral berarti perilaku yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial, yang dikembangakan oleh konsep moral. Yang dimaksud dengan konsep moral ialah peraturan perilaku yang telah menjadi kebiasaan bagi anggota suatu budaya. Konsep moral inilah yang menentukan pola perilaku yang diharapakan dari seluruh anggota kelompok.
Menurut piaget (sinilungan, 1997), hakikat moralitas adalah kecenderungan menerima dan menaati sistem peraturan. Selanjutnya, kohlberg (gnarsa, 1985) mengemukakan bahwa aspek moral adalah sesuatu yang tidak dibawa dari lahir, tapisesuatu yang berkembang dan dapat diperkembangkan/dipelajari. Perkembangan moral merupakan proses internalisasi nilai/norma masyarakat sesuai dengan kematangan dan kemampuan seseorang dalam menyesuaikan diri terhadap aturan yang berlaku dalam kehidupannya. Jadi, perkembangan moral mencangkupaspek kognitif yaitu pengetahuan tentang baik/buruk atau benar/salah, dan aspek afektif yaitu sikap perilaku moral itu dipraktekkan. piaget mengajukan perkembangan moral, yang digambarkan pada aturan permainan. Menurut beliau hakekat moralitas adalah kecenderungan menerima dan menaati sistem peraturan.

c.       Pengertian Agama
Menurut Zakiah Darajat (dalam Lilis Suryani dkk., 2008: 1.9), agama suatu keimanan yang diyakini oleh pikiran, diresapkan oleh perasaan, dan dilaksanakan dalam tindakan, perkataan, dan sikap.  Perkembangan nilai-nilai agama artinya perkembangan dalam kemampuan memahami, mempercayai, dan menjunjung tinggi kebenaran-kebenaran yang berasal dari Sang Pencipta, dan berusaha menjadikan apa yang dipercayai sebagai pedoman dalam bertutur kata, bersikap dan bertingkah laku dalam berbgaia situasi.
Al-Quran menyebutkan bahwa beragama merupakan fitrah manusia, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah)agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Q.S. al-Rum: 30).
Rasulullah saaw bersabda : “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Orang tuanyalah yang akan menjadikan ia sebagai yahudi atau nasrani.” Dan Imam Ja’far Shadiq as. menyatakan bahwa fitrah itu berarti tauhid (mengesakan Tuhan), Islam, dan juga ma’rifah (mengenal Tuhan). (Al-Kulaini, Al-Kafi Jilid 2, h. 12-13).
Imam Khumaini dalam buku 40 hadisnya menambahkan bahwa yang dimaksud dengan fitrah Allah yang semua manusia tercipta dengannya adalah kondisi dan kualitas penciptaan manusia. Semua manusia, tanpa terkecuali, tercipta dengan fitrah itu sebagai konsekuensi keberadaannya. Fitrah ini telah terkait erat dengan esensi wujudnya. Fitrah adalah salah satu rahmat Allah Swt. yang khusus dianugerahkan kepada manusia.
Para ahli tafsir menjelaskan bahwa : seluruh manusia memiliki jiwa keberagamaan yang tertanam dalam dan tidak bisa dihilangkan.  Maksud dari din (agama) dalam ayat ini bisa berarti sekumpulan ajaran-ajaran dan hukum-hukum pokok Islam, atau kondisi penyerahan diri dan tunduk secara total di hadapan Allah.  Alhasil, dari ayat di atas dapat dipahami bahwa mengenal Tuhan  dan meyembahnya adalah hal yang bersifat fitri dan telah dibawa sejak lahir. Jadi, manusia adalah makhluk beragama.
  
    2.      Perkembangan Moral, Nilai dan Agama Anak Usia Dini
a.       Perkembangan Moral dan Nilai
Mempelajari perkembangan sikap moral peserta didik usia sekolah, piaget (sinolungun, 1997) mengemukakan tiga tahap perkembangan moral sesuai dengan kajian pada aturan dalam permainan anak.
1. Fase absolut, dimana anak menghayati peraturan sebagai sesuatu hal yang mutlak, tidak dapat diubah, karena berasal dari otoritas yang dihormati (orang tua, guru, anak yang lebih berkuasa)
2. Fase realitas, dimana anak menyesuaikan diri untuk menghindari penolakan orang lain. Dalam permainan, anak menaati aturan yang disepakati bersama sebagai suatu kenyataan/realitas yang dapat diubah asal disetujui bersama.
3. Fase subjektif, dimana anak memperhatikan motif atau kesengajaandalam memahami aturan dan gembira mengembangakan sertamenerapkan.
Dalam kategori perkembangan moralnya, kohlberg (gunarsa, 1985) mengemukakan tiga tingkat dengan enam tahap perkembangan moral.
1. Tingkat 1: prakonvensional.
Pada tingkat ini aturan berisi aturan moral yang dibuat berdasarkan otoritas. Anak tidak melanggar aturan moral karana takut ancaman atau hukuman dari otoritas. Tingkat ini dibagi menjadi 2 tahap:
(1)   Kepatuhan dan orientasi hukum, tahap orientasi terhadap kepatuhan dan hukuman pada tahap ini anak hanya mengetahui bahwa aturan-aturan ini ditentukan oleh adanya kekuasaan yang tidak bisa diganggu gugat. Anak harus menurut, atau kalau tidak, akan mendapat hukuman.
(2) tahap relativistik hedonisme, pada tahap ini anak tidak lagi secara mutlak tergantung pada aturan yang berada di luar dirinya yang ditentukan orang lain yang memiliki otoritas. Anak mulai sadar bahwa setiap kejadian mempunyai beberapa segi yang bergantung pada kebutuhan (relativisme) dan kesenangan seseorang (hedonisme).
2. Tingkat 2: konvensional.
Pada tingkatan ini anak mematuhi aturan yang dibuat bersama agar diterima dalam kelompoknya. Tingkat ini juga terdiri dari dua tahap.
 (1) tahap orientasi mengenai anak yang baik. Pada tahap ini anak mulai memperlihatkan orientasi perbuatan yang dapat dinilai baik atau tidak baik oleh orang lain atau masyarakat. Sesuatu dikatakan baik dan benar apabila sikap dan perilakunya dapat diterima oleh orang lain atau masyarakat.
 (2) tahap mempertahankan norma sosial dan otoritas. Pada tahap ini anak menunjukkan perbuatan baik dan benar bukan hanya agar dapat diterima oleh lingkungan masyarakat di sekitarnya, tetapi juga bertujuan agar dapat ikut mempertahankan aturan dan norma/ nilai sosial yang ada sebagai kewajiban dan tanggung jawab moral untuk melaksanakan aturan yang ada.
3. Tingkat 3: pasca konvensional.
Pada tingkat ini anak mematuhi aturan untuk menghindari hukuman kata hatinya. Tingkat ini juga terdiri dari dua tahap.
(1) tahap orientasi terhadap perjanjian antara dirinya dengan lingkungan sosial. Pada tahap ini ada hubungan timbal balik antara dirinya dengan lingkungan sosial dan masyarakat. Seseorang menaati aturan sebagai kewajiban dan tanggung jawab dirinya dalam menjaga keserasian hidup masyarakat.
(2) tahap universal. Pada tahap ini selain ada norma pribadi yang bersifat subyektif ada juga norma etik (baik/ buruk, benar/ salah) yang bersifat universal sebagai sumber menentukan sesuatu perbuatan yang berhubungan dengan moralitas.
Teori perkembangan moral yang dikemukakan Kohlberg seperti halnya Piaget menunjukkan bahwa sikap dan perilaku moral bukan hasil sosialisasi atau pelajaran yang diperoleh dari kebiasaan yang berhubungan dengan nilai kebudayaan semata-mata. Tetapi juga terjadi sebagai akibat dari aktivitas spontan yang dipelajari dan berkembang melalui interaksi sosial anak dengan lingkungannya.
Selain teori perkembangan moral, dalam mempelajari pola perkembangan moral yang berkaitan dengan ketaatan akan suatu aturan yang berlaku universal, perlu dibahas mengenai disiplin. Disiplin berasal dari kata ”disciple” yang berarti seseorang yang belajar dari atau secara sukarela mengikuti seorang pemimpin. Disiplin diperlukan untuk membentuk perilaku yang sesuai dengan aturan dan peran yang ditetapkan dalam kelompok budaya tempat orang tersebut menjalani kehidupan. Melalui disiplin, anak belajar untuk bersikap dan berperilaku yang baik seperti yang diharapkan oleh masyarakat lingkungan. Disiplin dapat ditanamkan secara otoriter melalui pengendalian perilaku dengan menggunakan hubungan. Secara permisif/ laissezfaire melalui kebebbasan yang diberikan kepada anak tanpa adanya hukuman atau secara demokratis melalui penjelasan, diskusi, dan penalaran mengani peraturan yang berlaku.


 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Moral:
Anak dilahirkan tanpa moral (imoral) sikap moral untuk berperilaku sesuai nilai-nilai luhur dalam masyarakat belum dikenalnya. Intervensi terprogram melalui pendidikan, serta lingkungan sosial budaya, mempengaruhi perkembangan struktur kepribadian bermuatan moral. Ini dialami dalam keluarga bersama teman sebaya dan rekan-rekan sependidikan, kawan sekerja/kegiatan ditengah lingkungan.
a. Perubahan dalam lingkungan
Perubahan dan kemajuan dalam berbagai bidang membawa pergeseran nilai moral serta sikap warga masyarakat ditengah perubahan dapat terjadi kemajuan/kemrosotan moral. Perbedaan perilaku moral individu sebagian adalah dampak pengalaman dan pelajaran dari lingkungan nilai masyarakatnya. Lingkungan memberi ganjaran dan hukuman. Ini memacu proses belajar dan perkembangan moral secara berkondisi.
b. Struktur kepribadian
Psiko analisa (freud) menggambarkan perkembangan kepribadian termasuk moral. Dimulai dengan sistem ID, selaku aspek biologis yang irasional dan tak disadari. Diikuti aspek psikologis yaitu subsistemego yang rasional dan sadar. Kemudian pembentukan superego sebagai aspek sosial yang berisi sistem nilai dan moral masyarakat.
Ketiga subsistem kepribadian tersebut mempengaruhi perkembangan moral dan perilaku individu. Ketidakserasian antara subsistem kepribadian, berakibat seseorang sukar menyesuaikan diri, merasa tak puas dan cemas serta bersikap/berperilaku menyimpang. Sedang keserasian antara subsistem kepribadian dalam perkembangan moral akan berpuncak pada efektifnya kata hati (superego) menampilakan watak/perilaku bermoral seseorang.

Strategi dan Teknik Pengembangan Moral Anak Usia Dini
Pengembangan moral anak usia dini dilakukan agar terbentuk perilaku moral. Pembentukan perilaku moral pada anak, khususnya pada anak usia dini memerlukan perhatian serta pemahaman terhadap dasar-dasar serta berbagai kondisi yang mempengaruhi dan menenytukan perilaku moral. Ada 3 strategi dalam pembentukan perilaku moral pada anak usia dini, yaitu: strategi latihan dan pembiasaan, 2. Strategi aktivitas dan bermain, dan 3. Strategi pembelajaran (Wantah, 2005: 109).
1.    Strategi Latihan dan Pembiasaan
Latihan dan pembiasaan merupakan strategi yang efektif untuk membentuk perilaku tertentu pada anak-anak, termasuk perilaku moral. Dengan latihan dan pembiasaan terbentuklah perilaku yang bersifat relatif menetap. Misalnya, jika anak dibiasakan untuk menghormati anak yang lebih tua atau orang dewasa lainnya, maka anak memiliki kebiasaan yang baik, yaitu selalu menghormati kakaknya atau orang tuanya.
2.    Strategi Aktivitas Bermain
Bermain merupakan aktivitas yang dilakukan oleh setiap anak dapat digunakan dan dikelola untuk pengembangan perilaku moral pada anak. Menurut hasil penelitian Piaget (dalam Wantah, 2005: 116), menunjukkan bahwa perkembangan perilaku moral anak usia dini terjadi melalui kegiatan bermain. Pada mulanya anak bermain sendiri tanpa dengan menggunakan mainan. Setelah itu anak bermain menggunakan mainan namun dilakukan sendiri. Kemudian anak bermain bersama temannya bersama temannya namun belum mengikuti aturan-aturan yang berlaku. Selanjutnya anak bermain bersama dengan teman-temannya berdasarkan aturan yang berlaku.
3.    Strategi Pembelajaran
Usaha pengembangan moral anak usia dini dapat dilakukan dengan strategi pembelajaran moral. Pendidikan moral dapat disamakan dengan pembelajaran nilai-nilai dan pengembangan watak yang diharapkan dapat dimanifestasikan dalam diri dan perilaku seseorang seperti kejujuran, keberanian, persahabatan, dan penghargaan (Wantah, 2005: 123).
Pembelajaran moral dalam konteks ini tidak semata-mata sebagai suatu situasi seperti yang terjadi dalam kelas-kelas belajar formal di sekolah, apalagi pembelajaran ini ditujukan pada anak-anak usia dini dengan cirri utamanya senang bermain. Dari segi tahapan perkembangan moral, strategi pembelajaran moral berbeda orientasinya antara tahapan yang satu dengan lainnya. Pada anak usia 0 – 2 tahun pembelajaran lebih banyak berorientasi pada latihan aktivitas motorik dan pemenuhan kebutuhan anak secara proporsional. Pada anak usia antara 2 – 4 tahun pembelajaran moral lebih diarahkan pada pembentukan rasa kemandirian anak dalam memasuki dan menghadapi lingkungan. Untuk anak usia 4 – 6 tahun strategi pembelajaran moral diarahkan pada pembentukan inisiatif anak untuk memecahkan masalah yang berhubungan dengan perilaku baik dan buruk.

b.      Perkembangan Agama
Adapun dalam pandangan para psikolog agama, perkembangan keberagamaan pada anak melalui tiga tahapan penting, yaitu sebagai berikut :
1.      The Fairy Tale Stage (tingkat dongeng). Hal ini ditandai dengan kesenangan anak-anak bercerita hal-hal yang luar biasa seperti kebesaran, kehebatan, dan kekuatan Tuhan. Tidak jarang anak membandingkan Tuhan dengan tokoh-tokoh yang ia kenal seperti Power Rangers.
2.      The Realistic Stage (Tingkat Kenyataan). Ini tampak dengan mulai pahamnya anak-anak tersebut tentang wujud Allah swt sebagai sosok yang Maha Besar dan Maha Kuat, serta pencipta. Dari sini anak menyadari bahwa kepatuhan kepada-Nya adalah suatu yang lumrah dan mesti. Inilah yang menyebabkan mereka bergairah mengikuti acara-acara keagamaan.
3.      The Individual Stage (Tingkat Individu). Tanda ini terlihat pada sensitivitas keberagamaan anak. Tahap ini dibagi kepada tiga golongan :
1.      Konsep ketuhanan yang konvensional dan konservatif. Anak takut kemurkaan Allah; dan neraka; sedangkan orang baik akan dimasukkah surga, sebuah  taman bermain yang indah.
2.      Konsep ketuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dalam pendangan yang bersifat personal (perorangan). Di sini anak ingin meniru Tuhan dan dekat dengan-Nya; Ingin merasakan sentuhan kasih Tuhan dan menampung internalisasi kekuatan Tuhan.
3.      Konsep ketuhanan yang bersifat humanistik. Tanda ini tampak pada pengakuan mereka akan pentingnya keadilan. Buruknya perbuatan jahat, sehingga jika melakukannya anak akan gelisah, bingung, sedih, dan juga malu.

 Adapun ciri dan sifat keberagamaan pada anak-anak sebagai berikut :
1.      Unreflective (tidak mendalam). Ini kentara sekali pada ciri antropomorfisme, yang mengungkapkan Tuhan seperti makhluk lainnya, misalnya punya mata, punya telinga, dan lainnya.
2.      Egosentris (Egocentric Orientation). Anak mengharapkan adanya imbalan bagi semua aktivitas yang dilakukannya. Pada sisi lain anak cenderung tidak mau disalahkan, tetapi senang mendapat pujian.
3.      Eksperimentasi (Experimentation). Anak mengharapkan pembuktian akan keyakinan yang ada dibenaknya.
4.      Inisiatif (Initiative), misalnya ditandai dengan pikiran bahwa ia mudah keluar dari kepungan api neraka, karena pengalamannya setiap berbuat kesalahan tidak mendapatkan azab yang sering ditakut-takutkan.
5.      Spontanitas (Spontaneity). Misalnya, tampak pada pertanyaan atau jawaban yang dilontarkan anak dengan polosnya. Dia mengemukakan persis seperti apa yang diberitahukan guru atau orang tuanya.
6.      Verbalis dan Ritualis, yang diindikasikan dengan hapalan-hapalan yang tanpa makna. Saat ditanyakan “Apakah marah itu perbuatan baik atau buruk?” Mereka menjawab, “Buruk!”. Kemudian saat diajukan proposisi logis, “kalau begitu Allah, dan orang tuanya sering berbuat buruk karena sering marah-marah.” Anak bingung dan gelisah.
7.      Imitatif, tampak pada peniruan yang nyata dilakukan anak, seperti berdoa dan salat. Pembiasaan keluarga sangat berpengaruh pada anak, seperti berdoa mau makan, tidur, senang ke mesjid beramai-ramai.
8.      Rasa Heran dan Kagum, yaitu ditandai dengan keinginan kuat anak menjadi sakti dan mendapat limpahan kekuatan Tuhan. Mempertanyakan kehebatan dan kebesaran Tuhan yang menjadi pencipta manusia.

Sedangkan alur pembentukan pengetahuan keagamaan anak tersebut terjadi dalam enam tahap, sebagai berikut :
1.      Fitrah yang merupakan format khusus penciptaan manusia. Meskipun awalnya tidak mendalam, tetapi menjadi model dan modal yang berharga bagi perkembangan keberagamaan anak.
2.      Pengetahuan imajinatif yang membuat anak penuh khayalan-khayalan. Imajinasi ini menjadikan anak manafsirkan secara sendiri akan berbagai informasi yang diterimanya selama ini dari lingkungan sekitarnya.
3.      Pencarian dialektik yang dilakukan dengan melemparkan berbagai pertanyaan dan menanggapi secara spontanitas berbagai jawaban yang diberikan untuk mendapatkan informasi yang lebih banyak.
4.      Pencarian maknawiyah yang diindikasikan dengan perilaku religius dan ritual-ritual yang fantastis, penuh eksperimentasi, inisiatif, dan imitative. Pencarian maknawiyah ini memberikan peran penting untuk membentuk sikap dan pandangan anak terhadap agama, karena hal ini berhubungan secara langsung dengan pengalaman dirinya sendiri saat memasuki ranah keberagamaan dengan berbagai ajaran dan ritual-ritualnya.
5.      Internalisasi pengetahuan ke dalam pikiran dan benak anak sehingga menjadi bagian dari kehidupan dan keyakinannya. Ini bermanfaat untuk memberikan respon terhadap informasi-informasi baru. Respon ini bisa lahir dalam bentuk kompromi, complaince, atau juga konfrontatif.
6.      Keyakinan yang dipegang teguh. Prinsip ini juga berbeda pada tiap anak yang secara sederhana dapat digolongkan kepada dua yaitu keyakinan yang bersifat statis dan keyakinan yang bersifat dinamis. Keyakinan yang statis berarti adalah keyakinan yang tidak berkembang dan sulit menerima informasi baru yang menggugat keyakinannya. Sedangkan keyakinan dinamis merupakan keyakinan yang penuh dengan kreatifitas, selektifitas, dan analisis kritis terhadap informasi-informasi baru yang diterimanya.

Pengembangan nilai-nilai agama pada anak harus didasarkan pada karakteristik perkembangan anak. Jika memperhatikan pendapat Ernest Harms sebagaimana dikemukakan di atas, maka usaha pengembangan nilai-nilai agama menjadi efektif jika dilakukan melalui cerita-cerita yang di dalamnya terkandung ajaran-ajaran agama. Dengan demikian daya fantasi anak berperan dalam menyerap nilai-nilai agama yang terdapat dalam cerita yang diterimanya. 

Referensi
perkembangan45.blogspot.com/2012/12/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html?m=1  


  




0 Responses

Posting Komentar